3 Des 2009

Kisah Buyung dan Upik di Hari Idul Adha (2) : tentang Kebiasaan

Masih tentang si Buyung dan si Upik di Lapangan Paseban Bantul.

“Ayo Ma….. ke tempat Papa…..”, “Nggak usah sholat Ma, cari Papa aja……”, “Adek mau sama Papa……”, “Cari Papa, Ma…..” Itu rengekan Buyung sejak sebelum sholat Id dimulai hingga khotbah hampir selesai.

“Buka Ma, buka ininya…. Nggak usah pake ini….. Buka aja……” Itu rengekan Upik saat sholat Id sedang berlangsung.

Namanya anak-anak, memang wajar kalau merengek dan menangis manja, meminta perhatian orang dewasa. Tapi yang membuatku tersentil adalah kata-kata Buyung, “Nggak usah sholat Ma, cari Papa aja……” Wow, batinku.

Yah, mungkin orang tuanya memang belum menanamkan pengertian sholat padanya. Masih sekecil itu sih. Maklum saja. Memang belum waktunya. Tapi sedikit banyak aku jadi membandingkan dengan adikku dulu waktu seusia Buyung. Sejak adikku bayi, saat sholat Ibu sering menidurkan adik di sebelahnya, atau Ibu yang sengaja sholat sedemikian rupa di sebelah kasur tempat adik tertidur. Tujuannya simpel, agar ketika dia tiba-tiba terbangun, Ibu akan langsung terlihat olehnya, sehingga diharapkan dia tak sampai menangis karena merasa Ibu sudah di sampingnya. Ketika adik sedang melek pun Ibu akan mendudukkan adik dekat dengan Ibu ketika sholat. Kalau perlu malah digelarkan sajadah sendiri di sebelah Ibu. Lama kelamaan dia jadi terbiasa dengan rutinitas sholat. Hingga ketika diajak sholat di luar rumah dia tak pernah rewel, apalagi menangis. Baik ketika tarawih di masjid atau sholat Id, adikku hanya akan diam saja, sibuk dengan mainannya, atau berceloteh sendiri dengan riangnya, dan menunggu dengan anteng hingga sholat selesai. Sepertinya dia sudah menyadari bahwa aktivitas sholat tak akan berlangsung lama. Karena itu dia hanya perlu bersabar sebentar. Dia juga bisa mengenali bahwa menoleh ke kanan lalu ke kiri adalah tanda berakhirnya sholat. Setelah salam, barulah dia ribut meminta perhatian. Kalau saat itu mau menangis, ya menangislah dia, seperti layaknya anak balita. Seingatku, tak pernah sekalipun ada kejadian adik menangis ketika kami sedang sholat. Apalagi sampai merengek-rengek tak karuan seperti si Buyung atau Upik.

Karenanya aku tak pernah protes kalau Ibu memintaku mengajak adik ikut tarawih bersamaku. Saat itu di masjid yang persis di sebelah rumahku sholat tarawih dibagi dua. Anak-anak tarawih di lantai bawah, dengan imam dan khotib disesuaikan dengan anak-anak. Surat yang dibaca adalah surat-surat pendek (sehingga sholat tak berlangsung lama), dan ceramah biasanya diisi dengan dongeng atau kisah nabi. Selesai sholat ada jaburan yang dibagi. Semua jamaahnya adalah anak-anak, dengan beberapa ibu-ibu dan ustadz/ustadzah TPA menemani. Sedangkan sholat tarawih untuk orang dewasa berlangsung di lantai atas. Kalau misalnya saat tarawih adik ikut Ibu atau Ayah, dikuwatirkan ketika semua jamaah sedang sholat dia akan bermain sendiri, mungkin malah jalan-jalan ke arah balkon atau tangga tanpa ada yang mengawasi. Tapi kalau dia ikut aku di lantai bawah, ketika jamaah sholat setidaknya masih ada ibu-ibu yang berjaga. Lagipula banyak anak seusianya, jadi tak perlu khawatir adik akan macam-macam. Meskipun dia tak ikut sholat, tapi adik tak pernah merepotkanku. Paling-paling dia hanya jalan-jalan sedikit, bermain dengan temannya, lalu kembali lagi duduk manis di sebelahku. Kalau ada temannya yang menangis atau rewel, dia tak pernah ikut menangis. Paling-paling hanya memandangi temannya yang menangis itu, tanpa berbuat apapun. Entah apa yang dipikirnya. Tapi biasanya dia-yang-tak-berbuat-apa-apa itu malah ampuh mendiamkan si teman. Mungkin temannya malu, karena sudah menangis sendiri dan membuat keributan.

Suatu hari saat adikku kira-kira berumur tiga tahunan, dia asyik bermain sendiri sambil geletakan di kasur kamarku. Lalu aku yang baru selesai berwudhu langsung menggelar sajadah lalu sholat, karena memang sudah waktunya sholat. Aku lupa sholat apa itu. Mungkin Dzuhur atau Ashar. Belum lama aku mulai sholat, adikku tiba-tiba berdiri, menggelar selimutnya di sebelahku, lalu menirukan semua gerakanku. Mungkin dia terinspirasi dari sholat jamaah kami bertiga (aku, Ibu, dan Ayah) yang biasa dia lihat. Ayahku kebetulan melihat hal itu. Spontan diambil kamera dan…. jepret! Kejadian itu jadi surprise besar buat kami sekeluarga, karena baik Ayah maupun Ibu belum pernah secara khusus mengajarkan tentang sholat pada adik. Tapi ternyata dia selalu memperhatikan ketika kami sholat, dan akhirnya terbiasa dengan itu. Kebiasaan yang muncul tanpa disengaja.

Lain adikku, lain Buyung, lain pula Upik. Di tengah-tengah sholat Idul Adha, dia teriak “Buka Ma, buka ininya…. Nggak usah pake ini….. Buka aja……” Memang aku tak tahu pasti si Upik ini yang mana dan posisinya dimana. Hanya suaranya saja yang terdengar dari tempatku. Tapi dari kata-kata yang diteriakkannya, kalau dikira-kira mungkin seperti ini : Upik kecil ini dipakaikan mukena oleh Mamanya, seperti banyak anak kecil yang lain. Sekarang toh sedang tren mukena kecil warna-warni yang lucu-lucu untuk anak-anak. Tapi di tengah-tengah sholat, mungkin si Upik ini merasa kegerahan memakainya, lalu dia memaksa untuk melepasnya. Terbukti, rengekannya berhenti tak lama setelah sholat berakhir, mungkin karena saat itu Mamanya baru bisa memenuhi permintaan Upik untuk melepaskan mukenanya.

Sekali lagi aku memaklumi. Namanya juga anak-anak. Tapi aku jadi teringat waktu adikku TK dulu. Oh, tentu saja bukan adikku yang pakai mukena. Dia kan laki-laki. Dan bukan mukena yang jadi fokus di sini, tapi jilbab atau kerudung. Hampir sama lah. Sama-sama berfungsi menutup aurat. Saat itu adikku sekolah di TK ABA, dimana seragam murid perempuan dilengkapi dengan jilbab model seperti mukena mini yang satu set dengan seragamnya. Anak-anak wajib berjilbab selama ada di sekolah. Tapi, ibu-ibu wali murid yang menunggui anaknya sekolah banyak yang hanya bercelana pendek dengan kaos tanpa lengan. Akibatnya, belum sampai jam istirahat anak-anak sering melepas sendiri jilbabnya. Kalau ditegur guru, katanya “Mama juga nggak pake ini kok Bu…..” Ini maksudnya jilbab. Selain itu, banyak juga ibu-ibu yang berpenampilan “wah” dengan make-up menor. Anak-anaknya jadi ikutan suka dandan juga. Anak masih TK, tapi sudah banyak yang memakai banyak asesoris (kalung, gelang) gemerincing meniru ibunya. Sampai beberapa lama selalu seperti itu, hingga akhirnya kepala sekolah mengeluarkan aturan ibu-ibu yang menunggui anaknya di sekolah juga harus berbusana muslim untuk menjaga iklim Islami di sekolah.

Children are best plagiators of their parents. Aku pernah membaca kalimat itu di sebuah buku. Kebiasaan yang dilakukan orang tua dan keluarga inti di rumah akan dengan mudah ditiru anak. Beberapa ahli menyebut anak balita seperti spons : menyerap apa saja yang mereka tangkap dari lingkungannya. Karena itu setiap kali melihat anak kecil bertingkah yang menurutku aneh, yang terpikir olehku adalah : what kind of parents he / she has, who let him / her doing it?

Anak kecil terbiasa, karena mereka dibiasakan oleh lingkungannya. Si Buyung bisa dengan entengnya meminta ibunya tidak usah sholat, mungkin karena dia tidak terbiasa dengan aktivitas sholat. Si Upik bisa minta dilepas mukenanya — dan sang Ibu dengan mudahnya menuruti — mungkin karena dia tidak terbiasa dengan benda bernama mukena. Bisa jadi dia juga tidak terbiasa melihat ibunya memakainya.

Oh, aku lupa sebutkan, aku juga punya pengalaman yang hampir serupa di bulan Ramadhan. Di masjid kampungku yang sekarang kutinggali, sholat tarawih dilakukan secara bercampur antara anak-anak dan dewasa. Banyak anak yang ikut tarawih bersama dengan orang tuanya. Ada juga kelompok anak-anak yang sudah agak besar, hingga ABG usia SMP-SMA. Awal-awal tinggal di kampung ini di akhir tahun 90-an hingga sekitar tahun 2003-2004, aku masih sering ikut jamaah tarawih di masjid itu. Tapi semakin hari, semakin malas aku ke sana. Aku lebih memilih jauh-jauh ke masjid lain. Seringnya malah tarawih di Masjid Kampus UGM, yang sebenarnya berjarak belasan kilometer dari rumah. Yaa…. biasanya sih sekalian dari kuliah paginya lalu tidak pulang seharian, buka bersama dengan teman-teman, dan sekalian deh tarawih. Kenapa? Karena suasana di masjid kampungku tidak kondusif untuk jamaah tarawih. Anak-anak kecil berseliweran kesana kemari di antara shof-shof selama sholat berlangsung. Bahkan tidak semuanya benar-benar “kecil”. Ada yang sudah agak besar, barangkali usia kelas 4-5 SD. Yang benar-benar kecil dan balita, bisa dengan kencangnya menangis dan teriak-teriak sampai mengganggu khusyuknya sholat. Yang sudah lebih besar, usia SMP-SMA duduk menggerombol dan malah asyik mengobrol. Bahkan ketika seharusnya sholat berlangsung. Kelihatannya niat mereka ke masjid memang cuma untuk ngumpul dengan teman, tapi tetap bisa mendapatkan tandatangan imam & khotib untuk buku kegiatan Ramadhan mereka. Di Yogyakarta memang selama Ramadhan pelajar diwajibkan mengisi buku kegiatan ibadah sebagai tambahan nilai pelajaran agama di sekolah.

Semua ketidakkondusifan-untuk-sholat itu bisa terjadi hingga bertahun-tahun, karena sudah jadi kebiasaan. Tidak sekedar kebiasaan, tapi kebiasaan yang turun-temurun. Kebiasaan yang menular. Yang lebih tua membiasakan yang muda, kakak membiasakan adik, teman membiasakan temannya, orang tua membiasakan anak.

Satu contoh lagi kebiasaan (atau pembiasaan?) yang membuatku agak ngeri, terjadi ketika sholat Idul Fitri kemarin. Tidak ada yang istimewa awalnya. Sampai akhirnya sholat usai, dan jamaah putri mulai melipat mukena masing-masing. Tepat di barisan depanku ada sekeluarga yang terdiri dari Ibu, anak perempuan ABG, dan anak perempuan yang lebih kecil lagi. Setelah mereka selesai berkemas dan akhirnya berdiri, rasanya shock aku melihat si anak ABG. Dia hanya pakai hotpants (benar-benar HOTPANTS! Panjangnya pun hanya sepertiga paha!), kaos lengan pendek ketat, dan highheels. Halllooooo…… ini Idul Fitri, jeng!!! Penampilan sih oke. Tidak terlihat katrok atau norak, dan padanan bajunya pun match. Tapi, tetap saja tidak sesuai, dan tidak pantas. Sama sekali tidak menghormati hari raya Idul Fitri. Padahal Ibu dan adiknya masih sedikit lebih baik, meskipun juga tidak ada yang berjilbab. Pertanyaan yang langsung terpikir di kepalaku adalah, Ibu macam apa dia ini sampai membiarkan anaknya berpakaian macam itu di moment seperti ini?? Idul Fitri saja begini, bagaimana di hari biasa???

Tanpa disadari, dengan membiarkan anaknya berpakaian seperti itu di moment yang seharusnya ditanggapi dengan lebih bijak, sesungguhnya si Ibu sudah melakukan satu pembiasaan untuk anaknya. Pembiasaan untuk melakukan hal yang sama di hari yang lain. Oh, mungkin bahkan tidak sekedar sama, tapi malah jadi lebih parah lagi. Lebih HOT lagi. Haduh, aku malah jadi ngeri sendiri membayangkan kemungkinannya…..

Well, aku tidak hendak menghakimi seperti apa yang benar dan seperti apa yang salah. Memangnya siapa sih aku? Toh setiap orang sudah dikaruniai Allah akal dan hati nurani sendiri-sendiri untuk membedakan benar dan salah. Semua kembali pada diri kita masing-masing. Hanya saja, yang namanya kebiasaan itu akan bernilai mahal. Karena apapun kalau sudah jadi kebiasaan akan sulit dirubah. Kebiasaan baik, akan selamanya jadi baik. Tapi kebiasaan buruk, selamanya juga akan jadi buruk. Cuma individu itu sendiri yang bisa merubahnya. Cuma kita yang bisa memilih mana yang akan kita jadikan kebiasaan. Dan cuma kita yang bisa memilih kebiasaan mana yang akan kita tularkan pada orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar