3 Des 2009

Kisah Buyung dan Upik di Hari Idul Adha (2) : tentang Kebiasaan

Masih tentang si Buyung dan si Upik di Lapangan Paseban Bantul.

“Ayo Ma….. ke tempat Papa…..”, “Nggak usah sholat Ma, cari Papa aja……”, “Adek mau sama Papa……”, “Cari Papa, Ma…..” Itu rengekan Buyung sejak sebelum sholat Id dimulai hingga khotbah hampir selesai.

“Buka Ma, buka ininya…. Nggak usah pake ini….. Buka aja……” Itu rengekan Upik saat sholat Id sedang berlangsung.

Namanya anak-anak, memang wajar kalau merengek dan menangis manja, meminta perhatian orang dewasa. Tapi yang membuatku tersentil adalah kata-kata Buyung, “Nggak usah sholat Ma, cari Papa aja……” Wow, batinku.

Yah, mungkin orang tuanya memang belum menanamkan pengertian sholat padanya. Masih sekecil itu sih. Maklum saja. Memang belum waktunya. Tapi sedikit banyak aku jadi membandingkan dengan adikku dulu waktu seusia Buyung. Sejak adikku bayi, saat sholat Ibu sering menidurkan adik di sebelahnya, atau Ibu yang sengaja sholat sedemikian rupa di sebelah kasur tempat adik tertidur. Tujuannya simpel, agar ketika dia tiba-tiba terbangun, Ibu akan langsung terlihat olehnya, sehingga diharapkan dia tak sampai menangis karena merasa Ibu sudah di sampingnya. Ketika adik sedang melek pun Ibu akan mendudukkan adik dekat dengan Ibu ketika sholat. Kalau perlu malah digelarkan sajadah sendiri di sebelah Ibu. Lama kelamaan dia jadi terbiasa dengan rutinitas sholat. Hingga ketika diajak sholat di luar rumah dia tak pernah rewel, apalagi menangis. Baik ketika tarawih di masjid atau sholat Id, adikku hanya akan diam saja, sibuk dengan mainannya, atau berceloteh sendiri dengan riangnya, dan menunggu dengan anteng hingga sholat selesai. Sepertinya dia sudah menyadari bahwa aktivitas sholat tak akan berlangsung lama. Karena itu dia hanya perlu bersabar sebentar. Dia juga bisa mengenali bahwa menoleh ke kanan lalu ke kiri adalah tanda berakhirnya sholat. Setelah salam, barulah dia ribut meminta perhatian. Kalau saat itu mau menangis, ya menangislah dia, seperti layaknya anak balita. Seingatku, tak pernah sekalipun ada kejadian adik menangis ketika kami sedang sholat. Apalagi sampai merengek-rengek tak karuan seperti si Buyung atau Upik.

Karenanya aku tak pernah protes kalau Ibu memintaku mengajak adik ikut tarawih bersamaku. Saat itu di masjid yang persis di sebelah rumahku sholat tarawih dibagi dua. Anak-anak tarawih di lantai bawah, dengan imam dan khotib disesuaikan dengan anak-anak. Surat yang dibaca adalah surat-surat pendek (sehingga sholat tak berlangsung lama), dan ceramah biasanya diisi dengan dongeng atau kisah nabi. Selesai sholat ada jaburan yang dibagi. Semua jamaahnya adalah anak-anak, dengan beberapa ibu-ibu dan ustadz/ustadzah TPA menemani. Sedangkan sholat tarawih untuk orang dewasa berlangsung di lantai atas. Kalau misalnya saat tarawih adik ikut Ibu atau Ayah, dikuwatirkan ketika semua jamaah sedang sholat dia akan bermain sendiri, mungkin malah jalan-jalan ke arah balkon atau tangga tanpa ada yang mengawasi. Tapi kalau dia ikut aku di lantai bawah, ketika jamaah sholat setidaknya masih ada ibu-ibu yang berjaga. Lagipula banyak anak seusianya, jadi tak perlu khawatir adik akan macam-macam. Meskipun dia tak ikut sholat, tapi adik tak pernah merepotkanku. Paling-paling dia hanya jalan-jalan sedikit, bermain dengan temannya, lalu kembali lagi duduk manis di sebelahku. Kalau ada temannya yang menangis atau rewel, dia tak pernah ikut menangis. Paling-paling hanya memandangi temannya yang menangis itu, tanpa berbuat apapun. Entah apa yang dipikirnya. Tapi biasanya dia-yang-tak-berbuat-apa-apa itu malah ampuh mendiamkan si teman. Mungkin temannya malu, karena sudah menangis sendiri dan membuat keributan.

Suatu hari saat adikku kira-kira berumur tiga tahunan, dia asyik bermain sendiri sambil geletakan di kasur kamarku. Lalu aku yang baru selesai berwudhu langsung menggelar sajadah lalu sholat, karena memang sudah waktunya sholat. Aku lupa sholat apa itu. Mungkin Dzuhur atau Ashar. Belum lama aku mulai sholat, adikku tiba-tiba berdiri, menggelar selimutnya di sebelahku, lalu menirukan semua gerakanku. Mungkin dia terinspirasi dari sholat jamaah kami bertiga (aku, Ibu, dan Ayah) yang biasa dia lihat. Ayahku kebetulan melihat hal itu. Spontan diambil kamera dan…. jepret! Kejadian itu jadi surprise besar buat kami sekeluarga, karena baik Ayah maupun Ibu belum pernah secara khusus mengajarkan tentang sholat pada adik. Tapi ternyata dia selalu memperhatikan ketika kami sholat, dan akhirnya terbiasa dengan itu. Kebiasaan yang muncul tanpa disengaja.

Lain adikku, lain Buyung, lain pula Upik. Di tengah-tengah sholat Idul Adha, dia teriak “Buka Ma, buka ininya…. Nggak usah pake ini….. Buka aja……” Memang aku tak tahu pasti si Upik ini yang mana dan posisinya dimana. Hanya suaranya saja yang terdengar dari tempatku. Tapi dari kata-kata yang diteriakkannya, kalau dikira-kira mungkin seperti ini : Upik kecil ini dipakaikan mukena oleh Mamanya, seperti banyak anak kecil yang lain. Sekarang toh sedang tren mukena kecil warna-warni yang lucu-lucu untuk anak-anak. Tapi di tengah-tengah sholat, mungkin si Upik ini merasa kegerahan memakainya, lalu dia memaksa untuk melepasnya. Terbukti, rengekannya berhenti tak lama setelah sholat berakhir, mungkin karena saat itu Mamanya baru bisa memenuhi permintaan Upik untuk melepaskan mukenanya.

Sekali lagi aku memaklumi. Namanya juga anak-anak. Tapi aku jadi teringat waktu adikku TK dulu. Oh, tentu saja bukan adikku yang pakai mukena. Dia kan laki-laki. Dan bukan mukena yang jadi fokus di sini, tapi jilbab atau kerudung. Hampir sama lah. Sama-sama berfungsi menutup aurat. Saat itu adikku sekolah di TK ABA, dimana seragam murid perempuan dilengkapi dengan jilbab model seperti mukena mini yang satu set dengan seragamnya. Anak-anak wajib berjilbab selama ada di sekolah. Tapi, ibu-ibu wali murid yang menunggui anaknya sekolah banyak yang hanya bercelana pendek dengan kaos tanpa lengan. Akibatnya, belum sampai jam istirahat anak-anak sering melepas sendiri jilbabnya. Kalau ditegur guru, katanya “Mama juga nggak pake ini kok Bu…..” Ini maksudnya jilbab. Selain itu, banyak juga ibu-ibu yang berpenampilan “wah” dengan make-up menor. Anak-anaknya jadi ikutan suka dandan juga. Anak masih TK, tapi sudah banyak yang memakai banyak asesoris (kalung, gelang) gemerincing meniru ibunya. Sampai beberapa lama selalu seperti itu, hingga akhirnya kepala sekolah mengeluarkan aturan ibu-ibu yang menunggui anaknya di sekolah juga harus berbusana muslim untuk menjaga iklim Islami di sekolah.

Children are best plagiators of their parents. Aku pernah membaca kalimat itu di sebuah buku. Kebiasaan yang dilakukan orang tua dan keluarga inti di rumah akan dengan mudah ditiru anak. Beberapa ahli menyebut anak balita seperti spons : menyerap apa saja yang mereka tangkap dari lingkungannya. Karena itu setiap kali melihat anak kecil bertingkah yang menurutku aneh, yang terpikir olehku adalah : what kind of parents he / she has, who let him / her doing it?

Anak kecil terbiasa, karena mereka dibiasakan oleh lingkungannya. Si Buyung bisa dengan entengnya meminta ibunya tidak usah sholat, mungkin karena dia tidak terbiasa dengan aktivitas sholat. Si Upik bisa minta dilepas mukenanya — dan sang Ibu dengan mudahnya menuruti — mungkin karena dia tidak terbiasa dengan benda bernama mukena. Bisa jadi dia juga tidak terbiasa melihat ibunya memakainya.

Oh, aku lupa sebutkan, aku juga punya pengalaman yang hampir serupa di bulan Ramadhan. Di masjid kampungku yang sekarang kutinggali, sholat tarawih dilakukan secara bercampur antara anak-anak dan dewasa. Banyak anak yang ikut tarawih bersama dengan orang tuanya. Ada juga kelompok anak-anak yang sudah agak besar, hingga ABG usia SMP-SMA. Awal-awal tinggal di kampung ini di akhir tahun 90-an hingga sekitar tahun 2003-2004, aku masih sering ikut jamaah tarawih di masjid itu. Tapi semakin hari, semakin malas aku ke sana. Aku lebih memilih jauh-jauh ke masjid lain. Seringnya malah tarawih di Masjid Kampus UGM, yang sebenarnya berjarak belasan kilometer dari rumah. Yaa…. biasanya sih sekalian dari kuliah paginya lalu tidak pulang seharian, buka bersama dengan teman-teman, dan sekalian deh tarawih. Kenapa? Karena suasana di masjid kampungku tidak kondusif untuk jamaah tarawih. Anak-anak kecil berseliweran kesana kemari di antara shof-shof selama sholat berlangsung. Bahkan tidak semuanya benar-benar “kecil”. Ada yang sudah agak besar, barangkali usia kelas 4-5 SD. Yang benar-benar kecil dan balita, bisa dengan kencangnya menangis dan teriak-teriak sampai mengganggu khusyuknya sholat. Yang sudah lebih besar, usia SMP-SMA duduk menggerombol dan malah asyik mengobrol. Bahkan ketika seharusnya sholat berlangsung. Kelihatannya niat mereka ke masjid memang cuma untuk ngumpul dengan teman, tapi tetap bisa mendapatkan tandatangan imam & khotib untuk buku kegiatan Ramadhan mereka. Di Yogyakarta memang selama Ramadhan pelajar diwajibkan mengisi buku kegiatan ibadah sebagai tambahan nilai pelajaran agama di sekolah.

Semua ketidakkondusifan-untuk-sholat itu bisa terjadi hingga bertahun-tahun, karena sudah jadi kebiasaan. Tidak sekedar kebiasaan, tapi kebiasaan yang turun-temurun. Kebiasaan yang menular. Yang lebih tua membiasakan yang muda, kakak membiasakan adik, teman membiasakan temannya, orang tua membiasakan anak.

Satu contoh lagi kebiasaan (atau pembiasaan?) yang membuatku agak ngeri, terjadi ketika sholat Idul Fitri kemarin. Tidak ada yang istimewa awalnya. Sampai akhirnya sholat usai, dan jamaah putri mulai melipat mukena masing-masing. Tepat di barisan depanku ada sekeluarga yang terdiri dari Ibu, anak perempuan ABG, dan anak perempuan yang lebih kecil lagi. Setelah mereka selesai berkemas dan akhirnya berdiri, rasanya shock aku melihat si anak ABG. Dia hanya pakai hotpants (benar-benar HOTPANTS! Panjangnya pun hanya sepertiga paha!), kaos lengan pendek ketat, dan highheels. Halllooooo…… ini Idul Fitri, jeng!!! Penampilan sih oke. Tidak terlihat katrok atau norak, dan padanan bajunya pun match. Tapi, tetap saja tidak sesuai, dan tidak pantas. Sama sekali tidak menghormati hari raya Idul Fitri. Padahal Ibu dan adiknya masih sedikit lebih baik, meskipun juga tidak ada yang berjilbab. Pertanyaan yang langsung terpikir di kepalaku adalah, Ibu macam apa dia ini sampai membiarkan anaknya berpakaian macam itu di moment seperti ini?? Idul Fitri saja begini, bagaimana di hari biasa???

Tanpa disadari, dengan membiarkan anaknya berpakaian seperti itu di moment yang seharusnya ditanggapi dengan lebih bijak, sesungguhnya si Ibu sudah melakukan satu pembiasaan untuk anaknya. Pembiasaan untuk melakukan hal yang sama di hari yang lain. Oh, mungkin bahkan tidak sekedar sama, tapi malah jadi lebih parah lagi. Lebih HOT lagi. Haduh, aku malah jadi ngeri sendiri membayangkan kemungkinannya…..

Well, aku tidak hendak menghakimi seperti apa yang benar dan seperti apa yang salah. Memangnya siapa sih aku? Toh setiap orang sudah dikaruniai Allah akal dan hati nurani sendiri-sendiri untuk membedakan benar dan salah. Semua kembali pada diri kita masing-masing. Hanya saja, yang namanya kebiasaan itu akan bernilai mahal. Karena apapun kalau sudah jadi kebiasaan akan sulit dirubah. Kebiasaan baik, akan selamanya jadi baik. Tapi kebiasaan buruk, selamanya juga akan jadi buruk. Cuma individu itu sendiri yang bisa merubahnya. Cuma kita yang bisa memilih mana yang akan kita jadikan kebiasaan. Dan cuma kita yang bisa memilih kebiasaan mana yang akan kita tularkan pada orang lain.

Kisah Buyung dan Upik di Hari Idul Adha (1) : tentang Bahasa

Pagi hari 10 Dzulhijjah 1430 Hijriah, 27 November 2009 Masehi waktu Indonesia. Seperti jutaan umat Muslim lain di seluruh dunia, aku dan keluarga bersiap ke lapangan untuk melaksanakan sholat Idul Adha. Karena semalam hujan, lapangan terdekat dengan rumah (tempat biasanya kami sholat Id) yang letaknya sedikit di bawah jalan raya jadi tergenang air sehingga tidak bisa dipakai sholat Id. Akhirnya kami memutuskan untuk agak jauh ke selatan, ke lapangan Paseban di depan Kantor Bupati Bantul yang terletak di pusat kota Bantul. Tidak ada halangan apapun sebelumnya, kecuali sempat panik karena jam enam pagi masjid di sisi barat kampung yang juga menyelenggarakan sholat sudah memulai sholat Id. Suara sound-systemnya terdengar jelas sampai ke rumah. Dengan kekhawatiran lapangan-yang-akan-kami-datangi juga sudah mulai sholat, akhirnya jam enam itu juga kami berangkat meninggalkan rumah. Ternyata, lapangan Paseban baru memulai sholat jam 06.45!! Jadi kami masih sempat duduk dulu dan ikut bertakbir mengikuti suara panitia yang terdengar dari sound system.

Namanya juga sholat Id, pasti banyak anak-anak yang berisik, menangis, dan sebagainya. Apalagi banyaknya penjual mainan di sekitar lapangan makin memancing anak-anak kecil untuk merengek minta mainan pada orangtuanya. Karena biasanya anak kecil — entah laki-laki atau perempuan — ikut ibunya, maka bagian jamaah perempuan pastilah dipenuhi rengekan dan tangisan dari segala arah. Sebenarnya itu biasa, dan tidak mengherankan. Tapi ada satu anak yang tangisannya sangat sangat sangat mengganggu. Karena anak itu (laki-laki usia sekitar 2 atau 3 tahun) sudah menangis sejak sholat belum dimulai sampai khotbah hampir berakhir!!! Parah lagi, anak itu dan ibunya duduk di barisan tepat di belakangku agak ke kiri sedikit. Jadi tangisannya terdengar jelas sampai ke tempatku duduk. Rengekannya sangat kencang : “Ayo Ma….. ke tempat Papa…..”, “Nggak usah sholat Ma, cari Papa aja……”, “Adek mau sama Papa……”, “Cari Papa, Ma…..”. Ibunya pun mengerahkan segala jurus untuk mendiamkan anak itu. Mulai dari memancing dengan makanan lah, dengan bujukan, dengan janji-janji manis, sampai akhirnya (mungkin saking jengkelnya) si Ibu memilih cuek dan diam saja. Sesaat ketika sholat mulai, memang si anak sempat diam. Tapi di tengah-tengah sholat ada anak lain yang mulai menangis, hingga akhirnya anak laki-laki itu ikutan menangis lagi! Busyet dah! Satu saja sudah mengganggu, eee….. ini malah dua sekaligus di saat orang sholat!!! Anak yang kedua ini aku tidak tahu posisinya dimana. Tapi dari suaranya kelihatannya anak ini perempuan. Rengekannya, “Buka Ma, buka ininya…. Nggak usah pake ini….. Buka aja……” Oke, aku memang sedang sholat waktu itu. Bukan berarti sholatku nggak khusyuk. Tapi rengekan itu berlangsung terus sampai selesai sholat jadi aku pun sempat mendengar jelas kata-katanya.

Well, let’s analize (and criticize) it!!!

Baik anak pertama (biar gampang, sebutlah si Buyung) maupun anak kedua (sebutlah si Upik) dari usianya sama-sama belum usia sekolah. Yah, aku memang nggak tahu pasti si Upik yang mana, tapi kalau dikira-kira dari suaranya, usianya juga mungkin sama dengan Buyung. Kalau usia belum sekolah, berarti mayoritas interaksi mereka hanya dengan keluarga, tetangga dan orang-orang dekat saja. Porsi terbanyak pastilah keluarga. Kebanyakan anak usia segitu baru menguasai satu bahasa saja. Itupun belum se-sempurna kita. Tapi kedua anak itu sama-sama terlihat fasih berbahasa Indonesia. Padahal ini Bantul. Bantul bagian dari Yogyakarta. Yogyakarta adalah Jawa. Tapi aku haqqul yakin, kedua anak itu lebih terbiasa bicara dengan bahasa Indonesia daripada bahasa Jawa. Yaaa….. bisa saja sih Buyung dan Upik berasal dari keluarga entah-dari-mana yang sedang mudik ke Bantul. Tapi, ini Idul Adha, bung! Persentase pemudik jauh lebih sedikit dibandingkan Idul Fitri. Kemungkinan besar jamaah di Lapangan Paseban Bantul adalah orang Bantul juga. Selain itu, ibu si Buyung meskipun menanggapi anaknya dengan bahasa Indonesia juga, tapi logat Jawanya terlihat kental. Berarti sesungguhnya dia berasal dari keluarga Jawa.

Aku jadi ingat beberapa bulan lalu di sebuah TV swasta ada liputan wisata yang sedang meliput satu tempat outbond di sekitar Jakarta. Si reporter mewawancarai murid SD International School yang kebetulan sedang outbond disana. Reporter bertanya dengan bahasa Indonesia. Si anak yang bernama asli Indonesia, berwajah Indonesia dengan kulit coklat dan rambut hitam, malah menjawab dengan bahasa Inggris fasih. Pertanyaan kedua, masih ditanyakan dalam bahasa Indonesia. Lagi, jawabannya dalam bahasa Inggris. Setelahnya reporter mewawancarai guru sekolah itu, untuk mendapatkan testimoni tentang obyek wisata yang bersangkutan. Sambil lalu, reporter sempat bertanya tentang profil sekolah. Kata si guru, namanya juga International School. Maka, bahasa pengantar sehari-hari adalah bahasa Inggris, meskipun hanya ada sedikit siswa ekspatriat. Mayoritas siswa adalah WNI. Termasuk anak yang diwawancarai sebelumnya. Sesungguhnya dia paham bahasa Indonesia, tapi tak bisa mengucapkannya dengan baik karena tidak terbiasa. Warga negara Indonesia, dan tinggal di Indonesia, tapi dia lebih fasih berbahasa Inggris daripada bahasa Indonesia.

O-em-ji, pikirku (OMG, oh my God — red).

Sama dengan si Buyung dan si Upik di Lapangan Paseban. Berasal dari keluarga Jawa, tapi lebih fasih berbahasa Indonesia daripada bahasa Jawa. Dibandingkan dengan si-anak-sok-bule-siswa-International-School di atas, Buyung dan Upik memang masih lebih baik. Setidaknya mereka masih punya nasionalisme. Tapi bagaimanapun….. akan seperti apa Bahasa Jawa nantinya kalau anak-anak Jawa tidak ada yang paham Bahasa Jawa?

Bahasa Indonesia bisa dipelajari dari manapun selama masih dalam batas wilayah NKRI. Dari sekolah, dari TV, film, lagu, media cetak, juga dari lingkungan sehari-hari. Bahkan situs-situs internet internasional pun sekarang sudah banyak yang menyertakan bahasa Indonesia. Seperti Facebook, Yahoo, Google, Wikipedia, dsb. Jadi, siapapun yang tinggal di Indonesia akan bisa mempelajari bahasa Indonesia dengan mudah. Contohnya saja si-anak-sok-bule tadi. Dia masih paham bahasa Indonesia, karena dia tinggal di Indonesia. Masih baguslah…..

Berbeda dengan Bahasa Jawa. Memang masih ada sekolah yang mengajarkan Bahasa Jawa sebagai muatan lokal. Tapi bahkan di Yogyakarta saja tidak semua sekolah masih mengajarkan Bahasa Jawa. Paling-paling hanya sekolah negeri. Sebaliknya, SEMUA sekolah sekarang mengajarkan bahasa Inggris, tak peduli negeri atau swasta. Mulai dari SD, SMP, SMA. Bahkan ada juga TK dan pra-TK yang sudah mengajarkan bahasa Inggris untuk murid-muridnya. Jadi, seharusnya sumber utama pendidikan Bahasa Jawa untuk anak-anak Jawa hanya tinggal keluarga. Tak bisa lagi mengandalkan sekolah. Tapi lihat kenyataannya sekarang : banyak ibu-ibu Jawa yang mengajari anak balitanya belajar bicara dengan bahasa Indonesia, dan pelan-pelan melupakan akar budayanya. Padahal, keluarga dengan bahasa ibu Jawa tetap bisa menguasai Bahasa Indonesia — selama masih tinggal di Indonesia. Sebaliknya, keluarga dengan bahasa ibu Indonesia, meskipun tinggal di Jawa, tidak akan mudah menguasai Bahasa Jawa.

Dalam hal ini aku salut pada Anggun Cipta Sasmi, sang diva pop internasional asal Indonesia. Meskipun sudah malang melintang di dunia internasional, bahkan memegang kewarganegaraan Prancis, ketika kembali ke Indonesia, HANYA bahasa Indonesia yang dia gunakan. Coba cermati ketika dia diwawancarai atau ketika dia tampil di depan umum untuk acara apapun. Tentu tidak termasuk ketika dia menyanyi, karena namanya lagu kan pencipta liriknya belum tentu Anggun sendiri. Tidak termasuk iklan juga, karena namanya iklan pasti ada naskah yang harus dituruti. Cermati saja ketika wawancara — entah di infotainment atau di talkshow — ketika dia berbicara sebagai dirinya sendiri. Coba hitung berapa kata bahasa asing yang dia gunakan. Hampir tidak ada, kalau tidak malah benar-benar tidak ada. Hitung juga berapa kata bahasa Jawa yang dia sebutkan (karena dia berasal dari keluarga Jawa). Berdasar pengamatanku selama ini, kata bahasa Jawa yang dipakai Anggun (ketika wawancara dilakukan di Indonesia, atau ditujukan untuk penonton Indonesia) SELALU LEBIH BANYAK daripada kata bahasa asing, entah bahasa Inggris atau bahasa Prancis. Selebihnya adalah bahasa Indonesia yang baik dan benar, meski tak selalu sesuai ejaan yang disempurnakan. Contohnya ketika beberapa saat lalu dia tampil di acara Kick Andy. Bahkan, bahasa yang diajarkan Anggun pada putri kecilnya adalah bahasa Indonesia — meski sehari-hari mereka lebih banyak tinggal di Prancis. Padahal, SIAPA SIH yang meragukan kemampuan bahasa Inggris atau Prancis seorang Anggun Cipta Sasmi? SIAPA juga yang akan mencibirnya kalau dia berbicara dalam dua bahasa asing itu? Aku percaya tidak akan ada.

Pernah nonton sitkom Kejar Tayang di TransTV setiap hari Senin-Jumat jam 4 sore? Ada tokoh yang berprofesi sebagai bintang film bernama Michelle dengan wajah Indonesia, tapi selalu berbicara dengan logat kebule-bulean ala Cincha Lawrha yang selalu kehujhanhan, bechek, gak dapath oujheck. Sebaliknya, ada tokoh pegawai PH (Production House) berwajah bule tapi berbicara medok Jawa. Sekilas, itu lucu untuk penonton. Tapi adakah yang menyadari bahwa bagian ini sesungguhnya menyimpan kritik sosial untuk masyarakat Indonesia? Betapa masyarakat Indonesia saat ini lebih menyukai menggunakan bahasa asing daripada bahasa sendiri. Mungkin biar terkesan gaul dan trendi. Sebaliknya, banyak warga asing yang rela jauh-jauh datang ke Indonesia untuk belajar budaya Indonesia, dan mungkin malah lebih mencintai budaya Indonesia daripada warga asli Indonesia. Satu nama yang banyak dikenal adalah Wahyu Soeparno Putro, si bule Australia yang akhirnya memilih jadi WNI karena lama tinggal di Yogyakarta, dan memiliki keluarga angkat di kota gudeg ini. Dia tak pernah lagi memakai nama aslinya, karena menurutnya namanya yang sekarang — yang khas Indonesia — menyimpan arti yang lebih baik. Dia juga tak lagi berminat pulang ke kampung halamannya, karena dia sudah merasa Indonesia sebagai tanah airnya. Selain Wahyu, ada juga Elizabeth (maaf aku lupa nama belakangnya), seorang sinden Jawa berkebangsaan Amerika. Ada juga perempuan penari tradisional Jawa asal Jepang dan dalang asal Inggris (yang dua ini aku malah lupa juga nama depannya), yang ketiga orang ini pernah diundang di Kick Andy. Atau Jo’zsef Gazdag asal Hungaria, David William Ashton McKenny asal Inggris, dan Sylvie Chantriaux asal Prancis. Jo’zsef adalah penari Jawa yang langganan tampil di Taman Budaya Yogyakarta bareng Didik Nini Thowok. David sudah tiga tahun ini belajar karawitan di ISI Solo, setelah sebelumnya jadi musisi di London. Sedangkan Sylvie yang sudah tinggal di Indonesia sejak 1995 adalah pengajar gamelan di ISI Solo. PENGAJAR lho! Nah bagaimana ini, mahasiswa Indonesia malah belajar gamelan — yang notabene budaya asli Indonesia — pada orang Prancis! Liputan tentang mereka bisa dibaca di Radar Jogja, 16 November 2009. Mungkin juga dimuat di Radar-Radar lain (Jawapos Grup) di hari yang berbeda. Silakan cari sendiri.

Orang-orang asing itu bisa sampai sedemikian perhatiannya pada budaya asli Indonesia. Kita, sebagai pribumi Indonesia sekedar berbicara bahasa daerah saja malah segan. Meniru judul lagu Melly Goeslaw untuk soundtrack AADC : Dimana Malumu? Ya, dimana malumu pada orang-orang asing itu?

Saat ini Indonesia tercatat sebagai negara dengan bahasa daerah terbanyak di dunia. Entah akan bagaimana nanti jika bahasa-bahasa itu pelan-pelan menghilang dari muka bumi, saking banyaknya putra daerah yang tidak mau menggunakan bahasa daerahnya sendiri. Di Indonesia ini entah ada berapa banyak Buyung-Buyung dan Upik-Upik lain. Ke depannya mungkin akan terus makin banyak dan makin banyak lagi. Tidak hanya Bahasa Jawa saja yang terancam punah, tapi juga Bahasa Sunda, Bahasa Banjar, Bahasa Madura, Bahasa Palembang, Bahasa Batak, Bahasa Bugis, dan ribuan bahasa daerah lain. Satu bahasa saja masih terbagi jadi banyak sub-bahasa. Untuk bahasa Jawa ada Jawa-Banyumasan, ada Jawa-Jogja, ada Jawa-Timuran, dsb. Lihatlah betapa kayanya budaya kita sesungguhnya. Bahasa hanyalah sedikit bagian dari budaya. Padahal ada peribahasa “sedikit-sedikit lama-lama jadi bukit”. Apakah yang sedikit yang pelan-pelan menghilang itu nantinya juga akan membukit? Semua tergantung kita.

Well, maybe I’m included. I also speaks English much. But I still divide, when I could use English, and when I should use Indonesian. Above all, I prefer Javanese for my daily life.

Lha njenengan pripun? Yok opo koen?

2012 in my opinion

Bukan berarti aku terpengaruh latah dan ikut-ikutan kalau disini aku juga menulis tentang 2012. Aku (dengan bangga menyatakan), tidak terpengaruh euphoria kehebohan 2012. Tidak cuma 2012, bahkan aku tidak pernah nonton film-film lain yang sama-sama bikin heboh masyarakat di bioskop (kecuali Laskar Pelangi). Sampai detik ini, KCB 1 atau 2 aku belum nonton sama sekali. AAC saja dulu nontonnya di TV. HarPot 1 – 6 cuma nonton dari VCD/DVD. Apalagi si film sore-sore dan datang bulan (Twilight & New Moon :P) yang sampai sekarang rasanya kok gak minat nontonnya ya. Film yang aku tonton di 21 cuma Laskar Pelangi, Angel & Demon, District 9, Cloudy & A Chance of Meatball. Selebihnya, dari softcopy hasil download-an :D

Eits, bukan berarti aku mendukung pembajakan lho. Disebut pembajakan kalau film digandakan secara ilegal untuk diperjualbelikan. Sedangkan ini, si peng-upload film meng-upload filenya dengan gratis. Aku (dan ribuan downloader lain) mendownloadnya dari situs sharing file gratis (misalnya ziddu, atau biasanya sih kalau film pakai torrent). Kalau ada yang berminat mengkopi, aku juga akan memberikannya gratis. Itu bukan pembajakan kan? Kan sama sekali tidak ada unsur komersialisasi disini. Hehehe…..

Ok, back to 2012. Aku juga nonton 2012 dari hasil download-an itu (hal ini kusyukuri, karena itu berarti aku tidak perlu menambah pundi-pundi kekayaan Roland Emmerich :P). Entah dari mana sumbernya, tapi sepertinya diupload dari luar Indonesia, mungkin dari negara berbahasa Inggris, terbukti dengan tidak adanya subtitle sama sekali. Listening comprehension-ku diuji disini. Dan aku merasa terganggu dengan dahsyatnya sound effects menggelegar yang jadi mengalahkan suara dialog tokoh-tokohnya. Tanpa ada suara menggelegar saja sudah susah menangkap makna dialognya (busyet dah….. orang Amerika kok pada lancar ya bahasa Inggrisnya? Nyerocos bener…. sampai nggak jelas itu ngomong apa!) Sehingga akhirnya aku lebih banyak menyambung-nyambungkan dan interpretasi sendiri daripada mendengarkan dengan seksama. Jadi mohon maaf jika ternyata interpretasiku berbeda dengan interpretasi penonton lain, terutama yang menontonnya lengkap dengan subtitle bahasa Indonesia sehingga lebih mudah untuk dipahami.

Dari hasil interpretasi itu, ada beberapa hal yang bisa aku simpulkan:

Pertama, bahwa film 2012 tidak bercerita tentang kiamat, tapi lebih pada sebuah bencana besar yang melanda bumi. Karena pernyataan bahwa yang terjadi adalah kiamat hanya dari kata-kata Charlie si penyiar radio yang ditemui Jackson Curtis di mobil siarannya ketika Jackson & anak-anaknya camping di Yellowstone National Park. Charlie sendiri adalah seorang yang sangat percaya pada teori konspirasi. Dasar pemikiran Charlie sampai bisa mengatakan kiamat adalah ramalan dari Suku Maya. Padahal, di awal film sudah ada adegan yang menggambarkan ketika Adrian si ilmuwan kulit hitam berada di India, dan kawannya Satnam yang seorang ilmuwan India bercerita bahwa dia menemukan bahwa neutrino dari sinar matahari besar-besaran telah menembus bumi dan menyebabkan suhu inti meningkat dengan cepat. Berarti kan ada penjelasan sains atas bencana yang terjadi. Dalam hal ini kecenderungannya lebih pada perubahan iklim dan global warming yang jadi penyebab utama bencana. Jadi bukan kiamat seperti ramalan suku Maya.

Kedua, film 2012 tidak bercerita tentang kiamat, karena datangnya bencana tidak serentak. CNN bahkan sempat meliput peristiwa-peristiwa yang terjadi di berbagai negara yang berbeda. Los Angeles dan Washington DC yang sama-sama Amerika saja bencananya tidak bersamaan. Sebagian besar di antara bencana-bencana itu bisa diprediksi waktunya. Buktinya, bahtera penyelamat yang gedenya naudzubillah dan canggihnya bukan main begitu masih sempat dibangun di tengah pegunungan Himalaya. Hmmmm….. jadi kepikir, gimana ya caranya membangun semua itu di tengah pegunungan terpencil bersalju macam itu? Gimana caranya material-material pembangun diangkut kesana ya? Berton-ton baja, komputer-komputer canggih, pokoknya semua lah sampai bisa terbentuk stasiun pemberangkatan lengkap dengan empat bahtera sekaligus. Sekelilingnya gunung semua gitu lho……

Bahkan lebih hebat lagi, detik-detik terjadinya lelehan es besar-besaran berwujud banjir bandang juga bisa dihitung, sampai ada countdown dimana kepahlawanan Jackson diuji. Ini hanya seperti gempa bumi atau tsunami yang bisa diprediksi oleh BMG. Kurasa kalau itu benar-benar kiamat, manusia tidak akan bisa memprediksi kapan terjadinya, dan semua akan terjadi secara serentak di seluruh penjuru bumi. Tidak akan ada daerah yang terlewat. Tidak juga Cape of Good Hope di Afrika, yang dalam film digambarkan sebagai daerah yang selamat karena ketika air banjir dari tsunami di seluruh dunia surut, data satelit menunjukkan bahwa Afrika meningkat lebih tinggi dari permukaan laut dan mungkin tidak pernah terjadi banjir sama sekali. Bahkan, pegunungan tertinggi di dunia telah direposisi dari Himalaya ke pegunungan Drakensberg di Afrika Selatan.

Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: "Bilakah terjadinya?" Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba." Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang bari kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS 7 : 187)


Ketiga, film 2012 tidak bercerita tentang kiamat, karena semua bencana yang terjadi hanya datang dari bumi. Gempa, gunung meletus, banjir, tsunami, retakan-patahan yang terjadi, semua berasal dari bumi. Tidak ada angin, badai, hujan meteor, atau apapun yang datang dari langit. Matahari pun masih bersinar. Satu-satunya awan hitam adalah wedhus gembel yang terbentuk dari letusan gunung berapi. Tidak ada bedanya dengan wedhus gembel di Jogja beberapa tahun lalu akibat letusan Merapi. Bahkan kiamat dinosaurus masih lebih dahsyat daripada kiamat 2012, karena adanya hujan meteor saat itu. Padahal di awal cerita disebutkan juga bahwa tahun 2012 akan terjadi segarisnya posisi bumi dengan planet dan benda langit lain, yang itu juga antara lain disebutkan sebagai pemicu kiamat. Dari logika ini, seharusnya jika posisi yang segaris itu membawa efek pada bumi hingga hancur sedemikian rupa, seharusnya planet lain juga mengalami hal yang sama dong? Tapi kenapa tidak ada, apa lah, pecahan meteor mungkin, atau mungkin tubrukan bumi dengan planet lain. Bahkan di “kiamat” 2012 ini bumi masih tetap berputar pada porosnya seperti biasa. Begitu pula satelit-satelit buatan masih berada tetap pada orbitnya. Terbukti, komputer-komputer dalam bahtera selalu tersambung dengan satelit untuk mengamati perubahan bumi selama bencana terjadi. Itukah kiamat?

Keempat, film 2012 tidak bercerita tentang kiamat, karena masih ada manusia yang selamat karena sempat menaiki bahtera sebelum tsunami besar-besaran terjadi. Bahtera yang dibuat terinspirasi oleh Bahtera Nuh (Noah’s Ark) yang dulu dibangun Nabi Nuh untuk menyelamatkan diri dari banjir bandang di zamannya. Tidak hanya manusia, pada saat itu, Nabi Nuh juga mengangkut masing-masing sepasang dari setiap hewan yang ada. Hal ini juga ditiru dalam film 2012. Kalau ada yang memperhatikan, ada sepotong adegan yang menggambarkan ada helikopter-helikopter yang terbang di atas pegunungan Himalaya dengan jerapah, gajah, dan entah hewan apa lagi yang tergantung dibawah masing-masing helikopter. Sebenarnya bagian ini aneh. Setahuku, dimana-mana untuk mengangkut hewan itu dipakai cara memasukkan hewan ke dalam kerangkeng, yang sebelumnya si hewan sudah dibius lebih dulu supaya tidak berontak atau tiba-tiba berulah ketika dalam perjalanan. Kalau alasannya karena kecilnya daya tampung, rasanya itu tidak mungkin sebab sekarang sudah ada helikopter yang cukup besar untuk bisa memuat kerangkeng berisi gajah. Alasan untuk menggantung hewan-hewan itu sepertinya hanya supaya penonton bisa melihat kalau ada hewan yang ikut diangkut. Itu terlalu lebay menurutku. Padahal setelah adegan itu tidak ada hal lain yang menunjukkan adanya pengangkutan hewan. Bagian ini terlihat dipaksakan, sekedar untuk menegaskan adanya makhluk hidup yang bertahan hidup setelah “kiamat”.

Ia bertanya: "Bilakah hari kiamat itu?" Maka apabila mata terbelalak (ketakutan), dan apabila bulan telah hilang cahayanya, dan matahari dan bulan dikumpulkan, pada hari itu manusia berkata: "Ke mana tempat berlari?" Sekali-kali tidak! Tidak ada tempat berlindung! Hanya kepada Tuhanmu sajalah pada hari itu tempat kembali. (QS 75 : 6 – 12)


Kelima, film 2012 tidak bercerita tentang kiamat, karena reaksi orang-orang kurang heboh untuk ukuran sebuah kiamat. Coba lihat bagian dimana Los Angeles hancur, ketika mobil yang dinaiki Jackson & keluarga secara dramatis bisa menghindar dari retakan-retakan di tanah, dari hancurnya gedung-gedung di kanan kiri jalan, dari ambruknya jembatan….. Bagian ini mengingatkanku pada serial jaman kecil dulu : Ultraman, dimana ada monster raksasa ngamuk di tengah kota, merusak bangunan ini-itu, menyemburkan api kemana-mana, tapi yang berlarian panik menyelamatkan diri paling banyak hanya sejumlah warga satu RT saja. Nah, warga kota yang lain kemana? Penghuni gedung-gedung yang hancur itu kemana? Penumpang mobil-mobil di jalanan — yang dari posisinya yang berada di tengah jalan terlihat bahwa mobil-mobil itu tidak sedang parkir, tapi sedang jalan — itu kemana???

Keenam, film 2012 tidak bercerita tentang kiamat, karena….. Oh, sebaiknya aku hentikan di sini saja. Sebab kalau dilanjutkan, mungkin akan berlanjut terus entah sampai poin keberapa. Kali ini cukup sampai lima saja, sebab sampai berapapun nanti, semua intinya tetap sama : film 2012 tidak bercerita tentang kiamat.

Lalu, semua bencana gempa-bumi-gunung-meletus-
tsunami itu apa kalau bukan kiamat?
Hmmmm….. bagaimana kalau kita coba menengok sejarah. Bukankah dalam sejarah bumi telah terjadi beberapa kali “kiamat” seperti yang digambarkan dalam film 2012? Tentu saja bukan kiamat kubra, atau kiamat besar, dimana seluruh jagat raya benar-benar “the end”, dimana dihancurkan dan diakhirinya seluruh fisik dan hukum dunia fana. Melainkan kiamat sughra, atau kiamat kecil. Dalam kategori kiamat sughra ini termasuk juga kematian perorangan dan bencana, entah kecil maupun besar.

Dalam sejarah kita mengenal adanya dinosaurus yang kini telah punah, yang konon penyebab kepunahannya karena adanya hujan meteor besar-besaran yang menghancurkan daratan saat itu. Lalu ada kisah tentang kaum Tsamud dan kaum ‘Aad yang diadzab hingga binasa. Juga peninggalan-peninggalan tentang adanya peradaban yang hilang, misalnya Atlantis, meski hingga kini keberadaannya masih misterius. Begitu juga dengan kota Pompei di Yunani, yang dimusnahkan letusan gunung Vesuvius pada 24 Agustus tahun 79 Masehi hingga semua penduduknya tewas dan kotanya terkubur selama 1700 tahun sebelum akhirnya ditemukan arkeolog. Tidak lupa juga banjir bandang di jaman Nabi Nuh yang menjadi salah satu inspirasi film 2012 ini. Atau yang dekat saja dengan kita, yaitu berakhirnya kerajaan Majapahit di tahun 1400an yang menurut kitab Pararaton konon karena adanya “pagunung anyar”, atau diartikan sebagai peristiwa mud vulcano yang mirip dengan semburan lumpur Sidoarjo sekarang.
(Sebenarnya bagian ini wewenang ahli sejarah untuk menjelaskan lebih lanjut)

Kalau ada yang bilang semua bencana jaman dulu yang kusebutkan di atas tidak ada apa-apanya dibandingkan mega-bencana yang tergambar di film 2012, maka anggapanmu salah. Masyarakat jaman dulu kan tidak punya BMG. Tidak punya SAR. Tidak ada CNN yang bisa menyebarkan berita aktual ke seluruh penjuru dunia hanya dalam sekali kedipan mata. Tidak ada mobil, apalagi pesawat supersonik untuk melarikan diri secepat kilat. Bahkan tak ada HP untuk sekedar memastikan kabar orang tersayang. Untuk ukuran orang dulu, banjir pada masa itu sama menakutkannya dengan tsunami sekarang. Padahal sekarang, apalagi untuk orang Jakarta, banjir adalah makanan tiap tahun yang tidak perlu lagi ditakuti.

Hari kiamat1), apakah hari kiamat itu? Dan tahukah kamu apakah hari kiamat itu? Kaum Tsamud dan 'Aad telah mendustakan hari kiamat. Adapun kaum Tsamud, maka mereka telah dibinasakan dengan kejadian yang luar biasa2). Adapun kaum 'Aad maka mereka telah dibinasakan dengan angin yang sangat dingin lagi amat kencang, yang Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam dan delapan hari terus menerus; maka kamu lihat kaum 'Aad pada waktu itu mati bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk). Maka kamu tidak melihat seorangpun yang tinggal di antara mereka3). Dan telah datang Fir'aun dan orang-orang yang sebelumnya dan (penduduk) negeri-negeri yang dijungkir balikkan karena kesalahan yang besar4). Maka (masing-masing) mereka mendurhakai rasul Tuhan mereka, lalu Allah menyiksa mereka dengan siksaan yang sangat keras. Sesungguhnya Kami, tatkala air telah naik (sampai ke gunung) Kami bawa (nenek moyang) kamu5), ke dalam bahtera, agar Kami jadikan peristiwa itu peringatan bagi kamu dan agar diperhatikan oleh telinga yang mau mendengar. Maka apabila sangkakala ditiup sekali tiup6). dan diangkatlah bumi dan gunung-gunung, lalu dibenturkan keduanya sekali bentur. Maka pada hari itu terjadilah hari kiamat, dan terbelahlah langit, karena pada hari itu langit menjadi lemah. Dan malaikat-malaikat berada di penjuru-penjuru langit. Dan pada hari itu delapan orang malaikat menjunjung 'Arsy Tuhanmu di atas (kepala) mereka. Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Tuhanmu), tiada sesuatupun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah).
(QS 69 : 1 – 18)

1)Dalam teks aslinya berbunyi Al Haaqqah yang menurut bahasa berarti yang pasti terjadi. Hari Kiamat dinamai Al Haaqqah karena dia pasti terjadi.
2)Yang dimaksud dengan kejadian luar biasa itu ialah petir yang amat keras yang menyebabkan suara yang mengguntur yang dapat menghancurkan.
3)Maksudnya: mereka habis dihancurkan sama sekali dan tidak punya keturunan.
4)Maksudnya: Umat-umat dahulu yang mengingkari nabi-nabi seperti kaum Shaleh, kaum Syu'aib dan lain-lain dan negeri-negeri yang dijungkir balikkan ialah negeri-negeri kaum Luth. Sedang kesalahan yang dilakukan mereka ialah mendustai para rasul.
5)Yang dibawa dalam bahtera Nabi Nuh untuk diselamatkan ialah keluarga Nabi Nuh dan orang-orang yang beriman selain anaknya yang durhaka.
6)Maksudnya: ialah tiupan yang pertama yang pada waktu itu alam semesta menjadi hancur.



Nah, kalau sudah jelas film 2012 tidak bercerita tentang kiamat, kenapa pula kita harus over-reaktif menanggapinya? Dimanakah unsur mistik yang digembar-gemborkan itu? Kalau memang mistik, kenapa Harry Potter yang jelas-jelas bercerita tentang dunia sihir tidak ikut dimasalahkan? Bahkan kalau beralasan pembohongan publik, maka seharusnya SEMUA film, SEMUA sinetron, SEMUA novel, SEMUA lagu juga harus ikut dicekal. Toh semuanya adalah fiksi. Fiksi sama dengan bukan fakta. Bisa dianggap pembohongan juga dong?

Tapi seharusnya juga berlaku sebaliknya. Kita manusia ini memang aneh. Kita sudah jelas-jelas tahu bahwa film itu fiksi. Tapi kita malah senang hati dibohongi dengan rela mengantri panjang-panjang hanya demi menonton suatu film. Merelakan uang, tenaga, dan waktu, terbuang begitu saja hanya untuk dibohongi oleh pembuat film. Sementara di sini kita berpeluh-peluh mengantri tiket, nun jauh di sana sang produser tertawa gembira melihat cepatnya perubahan jumlah rekeningnya. Manusia tak hanya rela mengantri demi film. Tapi juga demi novel terbitan terbaru, demi jumpa fans, atau demi konser musik. Semuanya demi sesuatu yang semu. Jauh lebih mulia mengantri sembako atau mengantri minyak untuk menghidupi keluarga.

Semua film, apapun itu, entah 2012, entah Harry Potter, entah New Moon, entah KCB, semuanya tak jauh beda dengan film-film lain. Toh sama-sama hiburan. Tak salah memang kita mencoba menghibur diri. Manusiawi. Tapi tak usah lah ditanggapi berlebihan. Baik berlebihan secara positif maupun secara negatif. Baik pro maupun kontra.

Tak bisakah kita bertindak bijak dengan bersikap kalem saja?

Anggap saja film 2012 ini jadi pelajaran untuk kita. Untuk tidak bersikap berlebihan dalam menanggapi segala sesuatu. Untuk belajar menganalisis dan melihat lebih dekat segala hal sebelum memberikan penilaian. Untuk senantiasa memperluas wawasan kita, agar tak bisa dengan mudah dibohongi dan dibodohi siapapun. Untuk menjaga bumi dengan sebaik-baiknya dan sebisa mungkin mengurangi pemanasan global. Untuk memahami, bahwa kiamat memang akan datang suatu saat nanti, dan bagaimanapun kita memang harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Karena kita memang sudah diperingatkan.

Yap, WE WERE WARNED, as written in the movie poster. We were warned for The End, even since centuries ago, in an ancient literature named Al-Qur’an.

Antara cin(T)a, ci(N)ta, dan (CINTA),

cin(T)a
cin(T)a adalah sebuah film indie produksi anak muda Bandung yang tergabung dalam Sembilan Matahari. Meskipun indie, film ini bisa diputar di jaringan Blitzmegaplex. Jauh sebelumnya, film ini terpilih jadi salah satu film yang ikut diputar di Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 2009, dimana aku jadi salah satu staf divisi Hospitality. Di event inilah perkenalanku dengan film cin(T)a. Saat itu produser, sutradara, pemain, dan kru cin(T)a juga hadir untuk sesi tanya jawab setelah pemutaran.

cin(T)a bercerita tentang Cina, seorang mahasiswa baru asal Batak beragama Kristen, dan Annisa, seorang mahasiswa muslimah “senior” yang gak lulus-lulus kuliah karena kesibukannya di dunia hiburan. Cinta keduanya tak bisa bersatu karena perbedaan agama. Judul cin(T)a sendiri sebenarnya singkatan dari Cina, (T)uhan, dan Annisa. Mungkin maksudnya, ada (T)uhan yang berbeda di antara Cina dan Annisa.

Sejujurnya aku juga nggak bisa bercerita banyak karena belum nonton filmnya. Karena pada pemutaran JAFF, kesibukan sebagai staf Hospitality yang selalu harus menemani tamu (juri dan filmmaker asing) menyita waktu sampai nggak sempat nonton film APAPUN yang diputar di JAFF!!! Kalaupun sempat nonton, hanya sepotong-sepotong saja saat kebetulan harus “menengok” tamu JAFF yang sedang nonton di ruang screening, sekedar memastikan bahwa mereka masih di tempat semula (gila aja kalau sampai ada yang “ilang”! One Italian, three Singaporeans, two Malaysians, two Srilankans….. kalau mereka ilang, gimana mau nggantinya coba? :P) Itulah resiko jadi staf, meskipun dikelilingi ratusan film (sori, yang ini lebay. Gak sampai ratusan kok….) dengan keleluasaan akses masuk ruang screening gratis kapan saja kalau mau, tapi tetap saja nggak bisa memanfaatkan semua itu. Kecuali staf divisi Screening yang mengurusi pemutaran, sebab merekalah yang memegang kopi film untuk diputar. But thanks God, some of the directors whom I accompanied during JAFF, gave me their movie’s DVD, so I could watch them after the event finished ^_^.

Back to cin(T)a, setelah JAFF selesai pun tetap saja aku belum bisa nonton, karena film itu hanya diputar di Blitzmegaplex. Dan di Jogja nggak ada Blitzmegaplex! Jadi selama ini aku hanya bisa meraba-raba jalan ceritanya dari situsnya (www.godisadirector.com), trailernya, reviewnya di katalog JAFF dan di media-media lain, juga dari facebook cin(T)a the movie ataupun facebook orang-orang di balik kesuksesan film itu (the crews and the artists). Meskipun begitu, aku bisa dengan berani memberikan dua jempol untuk film ini, karena jalan ceritanya yang nggak biasa. Umumnya film-film bertema cinta selalu mengangkat cerita cinta dari sisi sentimentil, lebay, terlalu banyak kebetulan, dan selalu dengan ending yang sama: “….and they live happily ever after.” Tapi cin(T)a beda. Mulai dari temanya yang berani mengangkat tentang pluralitas cinta (cinta beda agama, bahkan beda usia dengan si cewek lebih tua beberapa tahun). Juga jalan ceritanya nggak lebay. Dan endingnya….. ummm….. lebih baik kalian nonton sendiri saja lah!

ci(N)ta
Bukan, yang ini bukan judul film. Bukan judul novel juga. Hanya sebuah pertanyaan tentang cinta. Kalau pada cin(T)a, ketika huruf dalam kurung (T) dihapus akan terbaca sebagai cina, salah satu tokoh utama film itu. Pada ci(N)ta, ketika huruf dalam kurung (N) dihapus akan terbentuk kata cita. Inilah poinnya.

Sudah lama tersimpan pertanyaan di otakku, antara cinta dan cita (-cita), mana yang lebih penting? Mana yang akan lebih didahulukan?

Apakah itu cinta apakah itu cita
Yang mampu melengkapi lubang di dalam hati
(Letto – Lubang di Hati)


Pertanyaan ini muncul karena betapa kalimat “nanti saja pacarannya kalau sudah kuliah”, atau “nanti saja nikahnya kalau sudah kerja” mengindikasikan bahwa banyak orang yang lebih mendahulukan cita-cita dibandingkan cinta (kuliah maupun kerja bisa lah dianggap sebagai bagian dari cita-cita). Tapi pada kenyatannya, kenapa banyak mahasiswa, atau bahkan pelajar yang (sori kalau ada yang ngerasa) bergelar MBA alias married by accident gara-gara dihamili sang pacar. Lalu, membengkaknya perut jadi alasan untuk putus sekolah / kuliah. Semakin jauh lah dari cita-cita yang diharapkan. Kalaupun nantinya sekolah dilanjutkan setelah melahirkan, konsentrasi yang ada tidak lagi seutuh dulu, karena perhatian terpecah oleh keberadaan anak. Selanjutnya, anak yang akan jadi korban.

Kehamilan itu sendiri bisa terjadi biasanya dengan memakai cinta sebagai senjata. Demi cinta, apapun rela dilakukan, termasuk mendosa sekalipun. Aku yakin, tak ada satupun dari para anak-anak muda kebablasan itu yang tidak tahu bahwa apa yang mereka lakukan sebenarnya adalah suatu kesalahan. Tapi karena cinta, mereka jadi buta. Tak lagi terpikir hal lain. Tak lagi ingat bahwa Tuhan mengawasi mereka. Termasuk tak ingat pula soal cita-cita yang menanti mereka di depan sana. Dua hal terlupakan disini: Tuhan, dan cita-cita. Semua karena cinta.

Jadi, apa artinya cinta?


(CINTA)

Cinta, cinta, cinta,
lakukan dengan cinta
bila kamu mau, mau, mau,
aku tak mau bila tanpa cinta
(Mahadewi – Lakukan dengan Cinta)


Sesungguhnya aku benci lagu ini. Karena dari liriknya, lagu ini seolah melegalkan free sex, asal dilakukan dengan cinta. Bukan dari sisi religius pun, tetap saja hal itu menyimpang dari adat ketimuran bangsa Indonesia. Herannya, sampai detik ini belum ada satu pihak pun yang mempermasalahkannya. Entah MUI, ataupun LSM perempuan dan anak. Padahal biasanya yang menjadi korban dari free sex adalah perempuan dan anak (yang dilahirkan).

Lagu itu menggambarkan dengan gamblang, bahwa cinta bisa jadi alasan untuk melakukan apa saja. Hal bodoh sekalipun. Kenapa bodoh? Karena dilakukan tanpa pertimbangan matang. Sex before marriage tak akan terjadi kalau ada pertimbangan matang sebelumnya. Soal Tuhan, soal masa depan, soal keluarga, atau apapun juga.

Benarkah itu karena cinta?

Aku sendiri merasa lebih tepat kalau kita menyebutnya sebagai (CINTA) [dengan kurung] dibandingkan cinta [tanpa kurung]. Seperti huruf (T) atau (N) di atas, (CINTA) [dengan kurung] juga layak untuk dihapus, atau setidaknya dianggap tidak ada. Karena (CINTA) sesungguhnya adalah cinta yang diposisikan secara tidak tepat. Dan lagi, sebenarnya ada batas tegas antara cinta dengan nafsu. Karena cinta bukanlah nafsu, dan nafsu juga bukan cinta. Cinta yang tepat tidak akan menimbulkan kerugian atau penyesalan. Apalagi kematian.

Kok jadi nyambung ke kematian?
Membicarakan soal free sex dan (CINTA), sedikit banyak akan menyerempet soal kematian. Karena free sex juga membawa kata lain sebagai efek di belakangnya : aborsi. Setidaknya, aborsi berarti kematian.
Meski tak semua free sex berakhir pada aborsi.

However, yang namanya cinta itu seharusnya mendatangkan kebahagiaan. Baik memiliki atau tidak, selama masih membahagiakan, itulah cinta. Ketika ada hati yang disakiti, ketika ada hati yang terlukai, mungkin esensi cinta yang tersisa perlu dipertanyakan lagi : apakah benar itu cinta? Atau sudah beralih menjadi ego?

Jadi, kembali ke pertanyaan semula : apa artinya cinta???

P.S: Sebuah renungan tentang aborsi bisa dilihat dengan mengklik disini (sumber: Kaskus)