3 Des 2009

Antara cin(T)a, ci(N)ta, dan (CINTA),

cin(T)a
cin(T)a adalah sebuah film indie produksi anak muda Bandung yang tergabung dalam Sembilan Matahari. Meskipun indie, film ini bisa diputar di jaringan Blitzmegaplex. Jauh sebelumnya, film ini terpilih jadi salah satu film yang ikut diputar di Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 2009, dimana aku jadi salah satu staf divisi Hospitality. Di event inilah perkenalanku dengan film cin(T)a. Saat itu produser, sutradara, pemain, dan kru cin(T)a juga hadir untuk sesi tanya jawab setelah pemutaran.

cin(T)a bercerita tentang Cina, seorang mahasiswa baru asal Batak beragama Kristen, dan Annisa, seorang mahasiswa muslimah “senior” yang gak lulus-lulus kuliah karena kesibukannya di dunia hiburan. Cinta keduanya tak bisa bersatu karena perbedaan agama. Judul cin(T)a sendiri sebenarnya singkatan dari Cina, (T)uhan, dan Annisa. Mungkin maksudnya, ada (T)uhan yang berbeda di antara Cina dan Annisa.

Sejujurnya aku juga nggak bisa bercerita banyak karena belum nonton filmnya. Karena pada pemutaran JAFF, kesibukan sebagai staf Hospitality yang selalu harus menemani tamu (juri dan filmmaker asing) menyita waktu sampai nggak sempat nonton film APAPUN yang diputar di JAFF!!! Kalaupun sempat nonton, hanya sepotong-sepotong saja saat kebetulan harus “menengok” tamu JAFF yang sedang nonton di ruang screening, sekedar memastikan bahwa mereka masih di tempat semula (gila aja kalau sampai ada yang “ilang”! One Italian, three Singaporeans, two Malaysians, two Srilankans….. kalau mereka ilang, gimana mau nggantinya coba? :P) Itulah resiko jadi staf, meskipun dikelilingi ratusan film (sori, yang ini lebay. Gak sampai ratusan kok….) dengan keleluasaan akses masuk ruang screening gratis kapan saja kalau mau, tapi tetap saja nggak bisa memanfaatkan semua itu. Kecuali staf divisi Screening yang mengurusi pemutaran, sebab merekalah yang memegang kopi film untuk diputar. But thanks God, some of the directors whom I accompanied during JAFF, gave me their movie’s DVD, so I could watch them after the event finished ^_^.

Back to cin(T)a, setelah JAFF selesai pun tetap saja aku belum bisa nonton, karena film itu hanya diputar di Blitzmegaplex. Dan di Jogja nggak ada Blitzmegaplex! Jadi selama ini aku hanya bisa meraba-raba jalan ceritanya dari situsnya (www.godisadirector.com), trailernya, reviewnya di katalog JAFF dan di media-media lain, juga dari facebook cin(T)a the movie ataupun facebook orang-orang di balik kesuksesan film itu (the crews and the artists). Meskipun begitu, aku bisa dengan berani memberikan dua jempol untuk film ini, karena jalan ceritanya yang nggak biasa. Umumnya film-film bertema cinta selalu mengangkat cerita cinta dari sisi sentimentil, lebay, terlalu banyak kebetulan, dan selalu dengan ending yang sama: “….and they live happily ever after.” Tapi cin(T)a beda. Mulai dari temanya yang berani mengangkat tentang pluralitas cinta (cinta beda agama, bahkan beda usia dengan si cewek lebih tua beberapa tahun). Juga jalan ceritanya nggak lebay. Dan endingnya….. ummm….. lebih baik kalian nonton sendiri saja lah!

ci(N)ta
Bukan, yang ini bukan judul film. Bukan judul novel juga. Hanya sebuah pertanyaan tentang cinta. Kalau pada cin(T)a, ketika huruf dalam kurung (T) dihapus akan terbaca sebagai cina, salah satu tokoh utama film itu. Pada ci(N)ta, ketika huruf dalam kurung (N) dihapus akan terbentuk kata cita. Inilah poinnya.

Sudah lama tersimpan pertanyaan di otakku, antara cinta dan cita (-cita), mana yang lebih penting? Mana yang akan lebih didahulukan?

Apakah itu cinta apakah itu cita
Yang mampu melengkapi lubang di dalam hati
(Letto – Lubang di Hati)


Pertanyaan ini muncul karena betapa kalimat “nanti saja pacarannya kalau sudah kuliah”, atau “nanti saja nikahnya kalau sudah kerja” mengindikasikan bahwa banyak orang yang lebih mendahulukan cita-cita dibandingkan cinta (kuliah maupun kerja bisa lah dianggap sebagai bagian dari cita-cita). Tapi pada kenyatannya, kenapa banyak mahasiswa, atau bahkan pelajar yang (sori kalau ada yang ngerasa) bergelar MBA alias married by accident gara-gara dihamili sang pacar. Lalu, membengkaknya perut jadi alasan untuk putus sekolah / kuliah. Semakin jauh lah dari cita-cita yang diharapkan. Kalaupun nantinya sekolah dilanjutkan setelah melahirkan, konsentrasi yang ada tidak lagi seutuh dulu, karena perhatian terpecah oleh keberadaan anak. Selanjutnya, anak yang akan jadi korban.

Kehamilan itu sendiri bisa terjadi biasanya dengan memakai cinta sebagai senjata. Demi cinta, apapun rela dilakukan, termasuk mendosa sekalipun. Aku yakin, tak ada satupun dari para anak-anak muda kebablasan itu yang tidak tahu bahwa apa yang mereka lakukan sebenarnya adalah suatu kesalahan. Tapi karena cinta, mereka jadi buta. Tak lagi terpikir hal lain. Tak lagi ingat bahwa Tuhan mengawasi mereka. Termasuk tak ingat pula soal cita-cita yang menanti mereka di depan sana. Dua hal terlupakan disini: Tuhan, dan cita-cita. Semua karena cinta.

Jadi, apa artinya cinta?


(CINTA)

Cinta, cinta, cinta,
lakukan dengan cinta
bila kamu mau, mau, mau,
aku tak mau bila tanpa cinta
(Mahadewi – Lakukan dengan Cinta)


Sesungguhnya aku benci lagu ini. Karena dari liriknya, lagu ini seolah melegalkan free sex, asal dilakukan dengan cinta. Bukan dari sisi religius pun, tetap saja hal itu menyimpang dari adat ketimuran bangsa Indonesia. Herannya, sampai detik ini belum ada satu pihak pun yang mempermasalahkannya. Entah MUI, ataupun LSM perempuan dan anak. Padahal biasanya yang menjadi korban dari free sex adalah perempuan dan anak (yang dilahirkan).

Lagu itu menggambarkan dengan gamblang, bahwa cinta bisa jadi alasan untuk melakukan apa saja. Hal bodoh sekalipun. Kenapa bodoh? Karena dilakukan tanpa pertimbangan matang. Sex before marriage tak akan terjadi kalau ada pertimbangan matang sebelumnya. Soal Tuhan, soal masa depan, soal keluarga, atau apapun juga.

Benarkah itu karena cinta?

Aku sendiri merasa lebih tepat kalau kita menyebutnya sebagai (CINTA) [dengan kurung] dibandingkan cinta [tanpa kurung]. Seperti huruf (T) atau (N) di atas, (CINTA) [dengan kurung] juga layak untuk dihapus, atau setidaknya dianggap tidak ada. Karena (CINTA) sesungguhnya adalah cinta yang diposisikan secara tidak tepat. Dan lagi, sebenarnya ada batas tegas antara cinta dengan nafsu. Karena cinta bukanlah nafsu, dan nafsu juga bukan cinta. Cinta yang tepat tidak akan menimbulkan kerugian atau penyesalan. Apalagi kematian.

Kok jadi nyambung ke kematian?
Membicarakan soal free sex dan (CINTA), sedikit banyak akan menyerempet soal kematian. Karena free sex juga membawa kata lain sebagai efek di belakangnya : aborsi. Setidaknya, aborsi berarti kematian.
Meski tak semua free sex berakhir pada aborsi.

However, yang namanya cinta itu seharusnya mendatangkan kebahagiaan. Baik memiliki atau tidak, selama masih membahagiakan, itulah cinta. Ketika ada hati yang disakiti, ketika ada hati yang terlukai, mungkin esensi cinta yang tersisa perlu dipertanyakan lagi : apakah benar itu cinta? Atau sudah beralih menjadi ego?

Jadi, kembali ke pertanyaan semula : apa artinya cinta???

P.S: Sebuah renungan tentang aborsi bisa dilihat dengan mengklik disini (sumber: Kaskus)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar