3 Des 2009

Kisah Buyung dan Upik di Hari Idul Adha (1) : tentang Bahasa

Pagi hari 10 Dzulhijjah 1430 Hijriah, 27 November 2009 Masehi waktu Indonesia. Seperti jutaan umat Muslim lain di seluruh dunia, aku dan keluarga bersiap ke lapangan untuk melaksanakan sholat Idul Adha. Karena semalam hujan, lapangan terdekat dengan rumah (tempat biasanya kami sholat Id) yang letaknya sedikit di bawah jalan raya jadi tergenang air sehingga tidak bisa dipakai sholat Id. Akhirnya kami memutuskan untuk agak jauh ke selatan, ke lapangan Paseban di depan Kantor Bupati Bantul yang terletak di pusat kota Bantul. Tidak ada halangan apapun sebelumnya, kecuali sempat panik karena jam enam pagi masjid di sisi barat kampung yang juga menyelenggarakan sholat sudah memulai sholat Id. Suara sound-systemnya terdengar jelas sampai ke rumah. Dengan kekhawatiran lapangan-yang-akan-kami-datangi juga sudah mulai sholat, akhirnya jam enam itu juga kami berangkat meninggalkan rumah. Ternyata, lapangan Paseban baru memulai sholat jam 06.45!! Jadi kami masih sempat duduk dulu dan ikut bertakbir mengikuti suara panitia yang terdengar dari sound system.

Namanya juga sholat Id, pasti banyak anak-anak yang berisik, menangis, dan sebagainya. Apalagi banyaknya penjual mainan di sekitar lapangan makin memancing anak-anak kecil untuk merengek minta mainan pada orangtuanya. Karena biasanya anak kecil — entah laki-laki atau perempuan — ikut ibunya, maka bagian jamaah perempuan pastilah dipenuhi rengekan dan tangisan dari segala arah. Sebenarnya itu biasa, dan tidak mengherankan. Tapi ada satu anak yang tangisannya sangat sangat sangat mengganggu. Karena anak itu (laki-laki usia sekitar 2 atau 3 tahun) sudah menangis sejak sholat belum dimulai sampai khotbah hampir berakhir!!! Parah lagi, anak itu dan ibunya duduk di barisan tepat di belakangku agak ke kiri sedikit. Jadi tangisannya terdengar jelas sampai ke tempatku duduk. Rengekannya sangat kencang : “Ayo Ma….. ke tempat Papa…..”, “Nggak usah sholat Ma, cari Papa aja……”, “Adek mau sama Papa……”, “Cari Papa, Ma…..”. Ibunya pun mengerahkan segala jurus untuk mendiamkan anak itu. Mulai dari memancing dengan makanan lah, dengan bujukan, dengan janji-janji manis, sampai akhirnya (mungkin saking jengkelnya) si Ibu memilih cuek dan diam saja. Sesaat ketika sholat mulai, memang si anak sempat diam. Tapi di tengah-tengah sholat ada anak lain yang mulai menangis, hingga akhirnya anak laki-laki itu ikutan menangis lagi! Busyet dah! Satu saja sudah mengganggu, eee….. ini malah dua sekaligus di saat orang sholat!!! Anak yang kedua ini aku tidak tahu posisinya dimana. Tapi dari suaranya kelihatannya anak ini perempuan. Rengekannya, “Buka Ma, buka ininya…. Nggak usah pake ini….. Buka aja……” Oke, aku memang sedang sholat waktu itu. Bukan berarti sholatku nggak khusyuk. Tapi rengekan itu berlangsung terus sampai selesai sholat jadi aku pun sempat mendengar jelas kata-katanya.

Well, let’s analize (and criticize) it!!!

Baik anak pertama (biar gampang, sebutlah si Buyung) maupun anak kedua (sebutlah si Upik) dari usianya sama-sama belum usia sekolah. Yah, aku memang nggak tahu pasti si Upik yang mana, tapi kalau dikira-kira dari suaranya, usianya juga mungkin sama dengan Buyung. Kalau usia belum sekolah, berarti mayoritas interaksi mereka hanya dengan keluarga, tetangga dan orang-orang dekat saja. Porsi terbanyak pastilah keluarga. Kebanyakan anak usia segitu baru menguasai satu bahasa saja. Itupun belum se-sempurna kita. Tapi kedua anak itu sama-sama terlihat fasih berbahasa Indonesia. Padahal ini Bantul. Bantul bagian dari Yogyakarta. Yogyakarta adalah Jawa. Tapi aku haqqul yakin, kedua anak itu lebih terbiasa bicara dengan bahasa Indonesia daripada bahasa Jawa. Yaaa….. bisa saja sih Buyung dan Upik berasal dari keluarga entah-dari-mana yang sedang mudik ke Bantul. Tapi, ini Idul Adha, bung! Persentase pemudik jauh lebih sedikit dibandingkan Idul Fitri. Kemungkinan besar jamaah di Lapangan Paseban Bantul adalah orang Bantul juga. Selain itu, ibu si Buyung meskipun menanggapi anaknya dengan bahasa Indonesia juga, tapi logat Jawanya terlihat kental. Berarti sesungguhnya dia berasal dari keluarga Jawa.

Aku jadi ingat beberapa bulan lalu di sebuah TV swasta ada liputan wisata yang sedang meliput satu tempat outbond di sekitar Jakarta. Si reporter mewawancarai murid SD International School yang kebetulan sedang outbond disana. Reporter bertanya dengan bahasa Indonesia. Si anak yang bernama asli Indonesia, berwajah Indonesia dengan kulit coklat dan rambut hitam, malah menjawab dengan bahasa Inggris fasih. Pertanyaan kedua, masih ditanyakan dalam bahasa Indonesia. Lagi, jawabannya dalam bahasa Inggris. Setelahnya reporter mewawancarai guru sekolah itu, untuk mendapatkan testimoni tentang obyek wisata yang bersangkutan. Sambil lalu, reporter sempat bertanya tentang profil sekolah. Kata si guru, namanya juga International School. Maka, bahasa pengantar sehari-hari adalah bahasa Inggris, meskipun hanya ada sedikit siswa ekspatriat. Mayoritas siswa adalah WNI. Termasuk anak yang diwawancarai sebelumnya. Sesungguhnya dia paham bahasa Indonesia, tapi tak bisa mengucapkannya dengan baik karena tidak terbiasa. Warga negara Indonesia, dan tinggal di Indonesia, tapi dia lebih fasih berbahasa Inggris daripada bahasa Indonesia.

O-em-ji, pikirku (OMG, oh my God — red).

Sama dengan si Buyung dan si Upik di Lapangan Paseban. Berasal dari keluarga Jawa, tapi lebih fasih berbahasa Indonesia daripada bahasa Jawa. Dibandingkan dengan si-anak-sok-bule-siswa-International-School di atas, Buyung dan Upik memang masih lebih baik. Setidaknya mereka masih punya nasionalisme. Tapi bagaimanapun….. akan seperti apa Bahasa Jawa nantinya kalau anak-anak Jawa tidak ada yang paham Bahasa Jawa?

Bahasa Indonesia bisa dipelajari dari manapun selama masih dalam batas wilayah NKRI. Dari sekolah, dari TV, film, lagu, media cetak, juga dari lingkungan sehari-hari. Bahkan situs-situs internet internasional pun sekarang sudah banyak yang menyertakan bahasa Indonesia. Seperti Facebook, Yahoo, Google, Wikipedia, dsb. Jadi, siapapun yang tinggal di Indonesia akan bisa mempelajari bahasa Indonesia dengan mudah. Contohnya saja si-anak-sok-bule tadi. Dia masih paham bahasa Indonesia, karena dia tinggal di Indonesia. Masih baguslah…..

Berbeda dengan Bahasa Jawa. Memang masih ada sekolah yang mengajarkan Bahasa Jawa sebagai muatan lokal. Tapi bahkan di Yogyakarta saja tidak semua sekolah masih mengajarkan Bahasa Jawa. Paling-paling hanya sekolah negeri. Sebaliknya, SEMUA sekolah sekarang mengajarkan bahasa Inggris, tak peduli negeri atau swasta. Mulai dari SD, SMP, SMA. Bahkan ada juga TK dan pra-TK yang sudah mengajarkan bahasa Inggris untuk murid-muridnya. Jadi, seharusnya sumber utama pendidikan Bahasa Jawa untuk anak-anak Jawa hanya tinggal keluarga. Tak bisa lagi mengandalkan sekolah. Tapi lihat kenyataannya sekarang : banyak ibu-ibu Jawa yang mengajari anak balitanya belajar bicara dengan bahasa Indonesia, dan pelan-pelan melupakan akar budayanya. Padahal, keluarga dengan bahasa ibu Jawa tetap bisa menguasai Bahasa Indonesia — selama masih tinggal di Indonesia. Sebaliknya, keluarga dengan bahasa ibu Indonesia, meskipun tinggal di Jawa, tidak akan mudah menguasai Bahasa Jawa.

Dalam hal ini aku salut pada Anggun Cipta Sasmi, sang diva pop internasional asal Indonesia. Meskipun sudah malang melintang di dunia internasional, bahkan memegang kewarganegaraan Prancis, ketika kembali ke Indonesia, HANYA bahasa Indonesia yang dia gunakan. Coba cermati ketika dia diwawancarai atau ketika dia tampil di depan umum untuk acara apapun. Tentu tidak termasuk ketika dia menyanyi, karena namanya lagu kan pencipta liriknya belum tentu Anggun sendiri. Tidak termasuk iklan juga, karena namanya iklan pasti ada naskah yang harus dituruti. Cermati saja ketika wawancara — entah di infotainment atau di talkshow — ketika dia berbicara sebagai dirinya sendiri. Coba hitung berapa kata bahasa asing yang dia gunakan. Hampir tidak ada, kalau tidak malah benar-benar tidak ada. Hitung juga berapa kata bahasa Jawa yang dia sebutkan (karena dia berasal dari keluarga Jawa). Berdasar pengamatanku selama ini, kata bahasa Jawa yang dipakai Anggun (ketika wawancara dilakukan di Indonesia, atau ditujukan untuk penonton Indonesia) SELALU LEBIH BANYAK daripada kata bahasa asing, entah bahasa Inggris atau bahasa Prancis. Selebihnya adalah bahasa Indonesia yang baik dan benar, meski tak selalu sesuai ejaan yang disempurnakan. Contohnya ketika beberapa saat lalu dia tampil di acara Kick Andy. Bahkan, bahasa yang diajarkan Anggun pada putri kecilnya adalah bahasa Indonesia — meski sehari-hari mereka lebih banyak tinggal di Prancis. Padahal, SIAPA SIH yang meragukan kemampuan bahasa Inggris atau Prancis seorang Anggun Cipta Sasmi? SIAPA juga yang akan mencibirnya kalau dia berbicara dalam dua bahasa asing itu? Aku percaya tidak akan ada.

Pernah nonton sitkom Kejar Tayang di TransTV setiap hari Senin-Jumat jam 4 sore? Ada tokoh yang berprofesi sebagai bintang film bernama Michelle dengan wajah Indonesia, tapi selalu berbicara dengan logat kebule-bulean ala Cincha Lawrha yang selalu kehujhanhan, bechek, gak dapath oujheck. Sebaliknya, ada tokoh pegawai PH (Production House) berwajah bule tapi berbicara medok Jawa. Sekilas, itu lucu untuk penonton. Tapi adakah yang menyadari bahwa bagian ini sesungguhnya menyimpan kritik sosial untuk masyarakat Indonesia? Betapa masyarakat Indonesia saat ini lebih menyukai menggunakan bahasa asing daripada bahasa sendiri. Mungkin biar terkesan gaul dan trendi. Sebaliknya, banyak warga asing yang rela jauh-jauh datang ke Indonesia untuk belajar budaya Indonesia, dan mungkin malah lebih mencintai budaya Indonesia daripada warga asli Indonesia. Satu nama yang banyak dikenal adalah Wahyu Soeparno Putro, si bule Australia yang akhirnya memilih jadi WNI karena lama tinggal di Yogyakarta, dan memiliki keluarga angkat di kota gudeg ini. Dia tak pernah lagi memakai nama aslinya, karena menurutnya namanya yang sekarang — yang khas Indonesia — menyimpan arti yang lebih baik. Dia juga tak lagi berminat pulang ke kampung halamannya, karena dia sudah merasa Indonesia sebagai tanah airnya. Selain Wahyu, ada juga Elizabeth (maaf aku lupa nama belakangnya), seorang sinden Jawa berkebangsaan Amerika. Ada juga perempuan penari tradisional Jawa asal Jepang dan dalang asal Inggris (yang dua ini aku malah lupa juga nama depannya), yang ketiga orang ini pernah diundang di Kick Andy. Atau Jo’zsef Gazdag asal Hungaria, David William Ashton McKenny asal Inggris, dan Sylvie Chantriaux asal Prancis. Jo’zsef adalah penari Jawa yang langganan tampil di Taman Budaya Yogyakarta bareng Didik Nini Thowok. David sudah tiga tahun ini belajar karawitan di ISI Solo, setelah sebelumnya jadi musisi di London. Sedangkan Sylvie yang sudah tinggal di Indonesia sejak 1995 adalah pengajar gamelan di ISI Solo. PENGAJAR lho! Nah bagaimana ini, mahasiswa Indonesia malah belajar gamelan — yang notabene budaya asli Indonesia — pada orang Prancis! Liputan tentang mereka bisa dibaca di Radar Jogja, 16 November 2009. Mungkin juga dimuat di Radar-Radar lain (Jawapos Grup) di hari yang berbeda. Silakan cari sendiri.

Orang-orang asing itu bisa sampai sedemikian perhatiannya pada budaya asli Indonesia. Kita, sebagai pribumi Indonesia sekedar berbicara bahasa daerah saja malah segan. Meniru judul lagu Melly Goeslaw untuk soundtrack AADC : Dimana Malumu? Ya, dimana malumu pada orang-orang asing itu?

Saat ini Indonesia tercatat sebagai negara dengan bahasa daerah terbanyak di dunia. Entah akan bagaimana nanti jika bahasa-bahasa itu pelan-pelan menghilang dari muka bumi, saking banyaknya putra daerah yang tidak mau menggunakan bahasa daerahnya sendiri. Di Indonesia ini entah ada berapa banyak Buyung-Buyung dan Upik-Upik lain. Ke depannya mungkin akan terus makin banyak dan makin banyak lagi. Tidak hanya Bahasa Jawa saja yang terancam punah, tapi juga Bahasa Sunda, Bahasa Banjar, Bahasa Madura, Bahasa Palembang, Bahasa Batak, Bahasa Bugis, dan ribuan bahasa daerah lain. Satu bahasa saja masih terbagi jadi banyak sub-bahasa. Untuk bahasa Jawa ada Jawa-Banyumasan, ada Jawa-Jogja, ada Jawa-Timuran, dsb. Lihatlah betapa kayanya budaya kita sesungguhnya. Bahasa hanyalah sedikit bagian dari budaya. Padahal ada peribahasa “sedikit-sedikit lama-lama jadi bukit”. Apakah yang sedikit yang pelan-pelan menghilang itu nantinya juga akan membukit? Semua tergantung kita.

Well, maybe I’m included. I also speaks English much. But I still divide, when I could use English, and when I should use Indonesian. Above all, I prefer Javanese for my daily life.

Lha njenengan pripun? Yok opo koen?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar